Ads #1

Pergumulan Tiga Jaringan Intelektual dalam Islam

Abstrak
Dalam tradisi jaringan intelektual Islam menurut Amin Abdullah yang terbagi menjadi tiga, yakni Ulum ad-Din, Fikr al-Islami, dan Dirasat al-Islamiyah merupakan tiga poros yang tidak bisa dijalankan secara parsial dan sendiri-sendiri dalam perkembangan agama Islam, namun dikombinasikan antara satu dengan yang lain untuk menghasilkan kesimpulan yang utuh sekaligus mengakomodir semua pihak yang terkait. Ketika ketiga jaringan tersebut masih berjalan secara individual, sekaligus tanpa menyentuh aspek disiplin ilmu yang lain, maka akan terjadi lagi pengkotak-kotakan tradisi keilmuan yang sampai hari ini semakin kronis-akut.
Keywods: Ulum ad-Din, Fikr al-Islami, dan Dirasat al-Islamiyah

Iftitah
act locally, and think globally[1] (bertindaklah sesuai dengan norma tradisi lokal, dan berpikirlah sesuai dengan standar etika global). Ungkapan tersebut yang penulis temukan dalam tulisan berjudul Mempertautkan ‘Ulum ad-Din, al-Fikr al-Islami, dan Dirasat al-Islamiyah: Sumbangan Keilmuan Islam untuk Peradaban Global oleh Amin Abdullah. Sepertinya ungkapan tersebut pada hari ini hanya sebatas menjadi slogan saja ketika kita berkaca pada fakta-fakta sekarang yang selalu menghiasi media-media informasi, baik televisi, internet, maupun media cetak. Hanya sebatas memberikan contoh seperti tragedi umat Syi’ah di Sampang, Ahmadiyah di Cikeusik, pembubaran tempat beribadah, dan semacamnya dimungkinkan ada sesuatu yang salah dalam cara pandang masyarakat Indonesia pada umumnya. Bahkan memunculkan buku-buku yang bercorak sinis dengan aliran Syi’ah sampai menjustifikasi sesat, kafir dan semacamnya.[2] Sehingga ungkapan act locally akan berhenti dan tidak sampai pada think globally, atau malah jumbuh menjadi act and think locally.
Dari tragedi-tragedi yang bermula dari agama tersebut, menunjukkan bahwa semangat golongan mayoritas di sebuah masyarakat merasa tidak menerima/menolak semua ajaran-ajaran yang berlainan dengan ide-ide yang dianggap sudah mapan bagi golongan mayoritas tersebut. Sedangkan masing-masing dari semua golongan sama-sama mencoba untuk mempertahankan identitas-identitasnya, seperti etnis, kultur, politis, dan semacamnya. Hal demikian tidak sepenuhnya salah memang, namun persoalannya adalah ketika dari semua golongan saling bertemu dan berdialog, kenapa masih mementingkan kepentingan pribadi masing-masing golongan, dan melupakan kemaslahatan bersama untuk hidup dan fastabiqu al-khairat secara sportif dalam membangun dan mempertahankan stabilitas masyarakat yang aman, damai, dan sejahtera?.
Untuk mendamaikan dan menyelaraskan pola pikir secara universal memang tidak semudah membalik telapak tangan, namun dari artikel yang menjadi sumber primer catatan ini, bagi penulis cukup untuk membuka wacana sekaligus solusi keberagamaan dan membentuk world view kita untuk memahami pelbagai konflik yang terjadi di tengah-tengah kancah lokal, nasional maupun internasional. Dalam catatan ini, penulis akan mencoba untuk mendeskripsikan beberapa hasil pembacaan dari artikel berjudul Mempertautkan ulum ad-Din, al-Fikr al-Islami, dan Dirasat al-Islamiyah: sumbangan keilmuan Islam untuk peradaban global.
Pendidikan Sebagai Gerbang Utama
Dari pengantar di atas, rasanya kurang efektif apabila hanya sebatas wacana yang harus diketahui oleh kalangan terpelajar. Oleh karenanya untuk mengimplementasikan usaha mendamaikan pertentangan-pertentangan yang ada pada tubuh islam dan antara Islam dan di luar Islam, maka dibutuhkan gerbang awal yang harus dilakukan untuk melendingkan act locally and think globally tersebut. Amin Abdullah berpendapat:
“…pendidikan menurut hemat penulis, merupakan alat yang dapat mencerahkan peradaban. Pendidikan yang terstruktur dan terestimasi secara utuh, yang diharapkan dapat memberi peta yang utuh, lengkap dan komprehensif tentang keislaman amat diperlukan oleh warga masyarakat luas, termasuk para alumni perguruan tinggi umum. …diperlukan konsep-konsep baru yang dapat mencerahkan, yang dapat mengolah dan meramu kembali silabi, kurikulum, metode, pendekatan, filosofi pendidikan Islam yang dapat mengantarkan para peserta didik dan masyarakat luas untuk tetap berpikir jernih, santun, etis, penuh pertimbangan yang rasional dan logis…”[3]   
Ini merupakan proyek besar yang memerlukan proses yang panjang. Mengingat tradisi kependidikan di Indonesia tidak hanya di bangku-bangku sekolah dan perkuliahan, tetapi juga pesantren-pesantren yang didasarkan pada otoritas individu guru sekaligus masih kuat dengan kultur tradisionalnya.[4] Di sisi lain (perguruan tinggi) fokus pada pembaharuan-pembaharuan Islam (wa al-akhdzu bi jadidi al-aslah), dan di sisi lain pula (pesantren) sangat memegang teguh warisan-warisan turats yang disebut sebagai ulama salaf (al-muhafadhah ‘ala qadim as-shalih). Sedangkan untuk mengkolaborasikan orientasi keduanya (al-muhafadha ‘ala qadim as-shalih wa al-akhdzu bi jadidi al-aslah) juga tidak mudah. Amin Abdullah dalam menyikapi hal ini, akan penulis deskripsikan dalam pembahasan selanjutnya yang terangkum pada empat fase dalam studi agama.
Empat Fase Studi Agama
Untuk merealisasikan pendidikan yang berbasis intelektual, maka dibutuhkan jenjang studi agama yang terbagi menjadi empat fase. Penulis memahami empat fase studi agama di sini sebagai empat fase yang secara bertahap dilalui oleh masyarakat beragama, terutama kaum terpelajar. Pertama, adalah tahapan Local. Menurut Amin Abdullah, semua agama pada era prasejarah (prehistorical period) dapat dikategorikan local. Semua praktik tradisi, kultur, adat istiadat, norma, bahkan agama adalah fenomena lokal.[5] Praktik-praktik lokal itu kemudian menjadi identitas yang melekat pada manusia sebagai individu maupun kelompok secara lokal. Namun, identitas lokal tersebut, akan mendapat ujian ketika pada suatu saat ia harus berhadapan dengan adat istiadat, budaya, norma, dan aturan-aturan, sistem ritual yang “lain” yang datang dari wilayah lain. Dalam perjumpaan itulah, meminjam bahasa Amin Abdullah yakni munculnya keraguan (doubt). Penulis tertarik dengan ilustrasi yang disampaikan, yakni bagi orang purba dahulu, kehadiran orang atau kelompok lain selalu dianggap sebagai ancaman yang akan memusnahkan keberadaannya atau mengganggu kepentingannya (Threat of Extinction). Perasaan terancam ini kemudian diselesaikan dengan cara anarkhis, seperti menghina, bertindak kejam, menyerang dan menundukkan kelompok lain yang dianggap sebagai ancaman.[6] Pada fase ini belum terlintas perlunya partisipasi penuh dan aktif dari semua pihak yang berbeda golongan untuk secara bersama-sama mengelola pemerintahan dengan baik dan mengelola konflik yang mengelilingi mereka dengan cerdas agar masing-masing kelompok bisa hidup dengan damai dan saling menghormati. Barangkali, kejadian-kejadian akhir-akhir ini yang diselesaikan secara kekerasan, kesimpulan penulis dengan memakai optic Amin Abdullah, merupakan tindakan orang purba terdahulu.
            Fase kedua adalah canonical atau propositional. Era agama-agama besar di dunia masuk dalam kategori ini. Munculnya agama Ibrahimi, dan agama-agama timur yang mayoritas menggunakan teks kitab suci merupakan babak baru tahapan sejarah perkembangan agama-agama dunis pasca prehistoric religions di atas. Budaya oral (lesan) yang dahulu digunakan, pada fase ini berubah menjadi budaya written (tulis). Menurut Amin Abdullah, ketika norma-norma, aturan-aturan, kesepakatan-kesepakatan tradisi lokal berhasil ditulis dan dibukukan maka sejarah manusia memasuki babakan baru yakni canonical.[7]
Fase ketiga adalah Critical. Babak critical ini terjadi pada abad ke 16 dan 17, ketika kesadaran beragama di Eropa mengalami perubahan yang radikal, yang disebut sebagai abad pencerahan (enlightenment) yang bermula dari temuan-temuan sains yang berbeda dengan pihak otoritas gereja.[8] Meskipun ini bagian dari gejolak Eropa, namun pada faktanya merambah ke berbagai tradisi agama-agama dunia. Agama-agama tradisional mengalami goncangan yang berat sehingga memaksa para penganutnya untuk memikirkan kembali secara menyeluruh asumsi-asumsi dasar yang telah menjadi kepercayaan yang dianggap final.[9] Selain itu, pada fase critical ini, banyak para penganut agama yang mempelajari agama-agama lain untuk mengetahui hakikat agama, asal-usul, sejarah perkembangannya, tradisi inilah yang berkembang secara kontinyu dan menjadi budaya dalam dunia akademis, yang bertujuan untuk menghilangkan doubt dalam diri pribadi dan dalam kehidupan sosial dengan cara melakukan pengamatan dan riset.
Keempat adalah fase Global. Fase global mempunyai arti bahwa tradisi-tradisi yang bersifat lokal –hanya sebatas contoh, fenomena penganut fiqih mayoritas– ketika para muslim imigrant ke negara lain yang secara fiqih tidak menganut paham madzhab fiqih yang mereka anut, apakah mereka memegang teguh fiqih sebagai produk siap konsumsi yang selama ini mereka anut, ataukah terlebih dahulu menimbang-nimbang, dan menyesyuaikan tradisi, norma-norma, dan nilai etika negara yang baru mereka tempati. Walhasil, tradisi lokal keberagamaan muslim ketika masuk ke wilayah “lain” atau dunia yang global, akan mengalami pembaharuan-pembaharuan yang menyesuaikan tempat di mana mereka berada.
Menurut penulis, fase global ini dalam kaca mata fiqh (karena di atas sebagai contoh, penulis menggunakan kasus fiqih sebagai sarana contoh pula), sebagian telah terjawab oleh kaidah-kaidah fiqh yang telah dicapai oleh ulama fuqaha terdahulu. Seperti kasus zakat yang pada zaman nabi adalah kurma dan gandum, maka ketika masuk ke konteks Indoesia, terutama Jawa, maka menjadi beras, tentu berbeda dengan zakat di wilayah Eropa, Amerika, dan lain-lain. Kaidah-kaidah fiqih seperti al-Masyaqqatu tajlibu at-taysir,[10] adl-dlaruratu tubihu al-mahdhurat[11] dan semacamnya merupakan nilai-nilai global. Artinya kaidah tersebut tidak pandang bulu dan tempat di mana ia berada, ketika muslim (apapun etnisnya) berada dalam keadaan darurat (di manapun ia berada), maka ia boleh melalukan hal-hal yang dilarang (haram). Jadi semangat Islam yang rahmatan lil’alamin bisa terwujud bagi peradaban muslim di dunia. Namun, yang menjadi persoalan adalah masyarakat pada umumnya mempelajari fiqih sampai mentog saja, tanpa melihat aspek ushul dan kaidah yang lebih universal, lebih-lebih sampai pada disiplin ilmu yang lain.
Pergumulan Tiga Kluster Intelektual dalam Islam
Amin Abdullah memetakan ketiga kluster jaringan Intelektual dalam Islam, yakni ilmu agama (ulum ad-din; religious knowledge), pemikiran islam (al-fikr al-islami ; Islamic thougt), dan Dirasat islamiyah/Islamic studies. Ketiga kluster tersebut mempunyai hubungan sangat erat dan selalu bersentuhan satu dengan yang lainnya. Agar catatan selanjutnya bisa runtut, maka perlu untuk memberikan definisi satu persatu dari masing-masing kluster tersebut. Ulum ad-Din di sini mempunyai arti bahwa pengetahuan-pengetahuan agama Islam yang secara langsung bersinggungan dengan nilai-nilai dan materi-materi seperti fiqih, syari’ah, kalam, tasawuf, dengan menggunakan pendekatan filologis seperti ilmu nahw, sharaf, balaghah, mantiq, dan semacamnya untuk mengetahui teks-teks agama seperti al-Qur’an, hadits, dan turats-turats.[12] Dalam bahasa Imam Ghazali, ilmu syariah agama disebut sebagai ilmu yang bersifat fardlu ‘ain.[13] Sedangkan yang non syariah agama disebut sebagai ilmu yang bersifat fardlu kifayah yang berarti bahwa dalam satu komunitas tidak semua orang harus mengetahui ilmu tersebut, seperti halnya ilmu kedokteran, dan apabila salah satu dari suatu komunitas tertentu sudah mempelajarinya, maka sebagian yang lain tidak mempunyai kewajiban lagi (wa idza qama biha wahidun kafa, wa saqatha al-fardhu ‘an al-akhirin)[14]
Lebih dari pada itu, dalam perkembangannya ketika bahan dasar pokok-pokok ulum ad-Din ini terkumpul dan disusun secara sistematis dan terstruktur secara akademis dengan melibatkan metodologi, pendekatan dan segala macamnya, maka secara akademik ulum ad-din berkembang menjadi subjek yang secara luas dikenal oleh lingkungan perguruan tinggi sebagai pemikiran islam (al-Fikr al-Islami; Islamic thought).[15] Dari sini kemudian muncul pertanyaan, lantas apa perbedaan antara Ulum ad-Din dan fikr al-Islam?.
Perbedaan antara keduanya terletak pada aspek metodologi. Pada kluster Fikr al-Islam cenderung lebih mempunyai struktur ilmu yang kokoh dalam menganalisis tema-tema agama, sedangkan pada kluster ulum ad-din cenderung parsial dengan menenakankan atau memilih bagian tertentu saja dari struktur pengetahuan tersebut.[16] Misalnya, pembelajaran agama yang hanya menenakankan pada aspek kalam dan aqidah dengan meninggalkan aspek filosofisnya, selain itu menekankan pada aspek fiqih saja tanpa memahami tasawuf, dan sebaliknya.[17] Hal demikian menurut Amin Abdullah antara ulum ad-Din dan Fikr al-Islam secara hubungan interaktif belum selesai dan belum duduk.[18]
Ketika hubungan antara ulumu ad-Din dan Fikr al-Islam dinyatakan belum duduk dan belum selesai, maka lebih lanjut Amin Abdullah menjelaskan:
“…dunia akademis keilmuan Islam terus berkembang mengikuti perkembangan ilmu-ilmu dan metode-metode penelitian yang umum ada di dunia akademis pada umumnya. Publikasi hasil penelitian lapangan, hadirnya journal keilmuan keislaman, symposium, seminar-seminar keilmuan, encyclopedia, terbitnya buku-buku baru dari manapun datangnya, baik dari insider maupun outsider, mulai merangsek masuk ke pusat-pusat studi keislaman baik di Barat maupun Timur. Dengan munculnya berbagai metode dan pendekatan baru yang muncul mulai abad ke 18-19, baik yang disebut filologis-historis dan lebih-lebih social sciences, maka muncullah cluster baru keilmuan Islam yang disebut dengan Dirasat Islamiyah atau Islamic Studies.”[19]
Dari kutipan di atas, penulis memahaminya bahwa kemunculan Dirasat Islamiyah didasari atas hasil dari pergumulan antara Fikr al-Islam dan Ulum ad-Din sekaligus dibarengi dengan ilmu-ilmu yang sedang berkembang pada saat ini, misalnya dengan ilmu sosiologi, psikologi, humanities, historis, dsb. Jadi, hasil-hasil dari penelitian lapangan yang tentunya masih ditopang dengan Ulum ad-Din dan Fikr al-Islam dengan tidak meninggalkan aspek historis-empiris yang objektif tentang dinamika sosial, ketersambungan, perubahan, pola, dan trends pergumulan sosial-politik, dsb, maka itulah yang disebut sebagai Dirasat Islamiyah yang secara fungsional melihat persoalan-persoalan agama secara lebih komprehensif dan tidak meninggalkan nilai universal Islam yang masyhur dengan slogan rahmatan lil ‘alamin.
Selain itu, pendekatan kritis dan perbandingan (comparative) sangat diutamakan dalam tradisi keilmuan Dirasat Islamiyah,[20] hal ini untuk mendapatkan hasil yang mempunyai cakupan lebih luas dari berbagai persfektif yang kemudian mempunyai hasil kesimpulan yang utuh pula.  
Dengan demikian, disversifikasi (penganekaragaman) corak kajian keislaman sangat diperlukan dan niscaya untuk membantu masyarakat pada umumnya dalam melihat dan menilai persoalan dari berbagai sudut pandang, hal ini untuk meminimalisir, kalau tidak disebut menghilangkan konflik, antar sekte, ideologi bahkan antar agama. Seperti halnya yang dijelaskan oleh Machasin bahwa Islam sebagai produk budaya berpotensi untuk dipahami dan diekspresikan dalam berbagai corak sesuai dengan keberagaman manusia.[21]
 Kembali pada ketiga kluster intelektual Islam, ketika melihatnya dengan empat fase studi agama yang sudah penulis senggol di atas, bahwa Ulum ad-Din masih berada pada tahapan canonical, bahkan sebagian merosot pada fase local. Sedangkan fikr al-Islam berada pada masa transisi menuju Dirasat al-Islamiyah yang bercorak dan menempati fase critical.[22]
Dari ketiga kluster tersebut, ternyata masing-masing mempunyai penggemar sendiri yang, penggemar satu dengan yang lain tidak bisa saling terbuka untuk bisa memahami dan berdialog tentang keberagaman mereka yang sesuai dengan perkembangan zaman. Namun lebih lanjut Amin Abdullah menjelaskan bahwa:
“Hubungan antara ketiganya pun, menurut hemat penulis, bukannya bersifat Hirarkis, di mana Ulum ad-Din atau Fikr al-Islami atau Dirasat al-Islamiyah diandaikan paling tinggi, paling utama atau penting dibanding yang lain. Hubungan antara ketiganya bersifat Dialogis dan Negoisatif. …Bagaimana cara penyampaiannya kepada anak didik secara lebih akademik sekaligus pedagogis?. Salah satu yang penulis usulkan adalah lewat pengenalan bagian-bagian tertentu dari ilmu-ilmu sosial kritis humanities kontemporer yang dikawinkan dengan budaya lokal yang mendarah mendaging dalam payung Ulum ad-Din dalam konteks budaya Islam.”[23]
Dari penyataan di atas, bahwa ketiga kluster bukanlah bersifat hirarkis, tetapi dialogis dan negoisatif, setidak-tidaknya pandangan ini bisa membuka semua penggemar ketiga kluster tersebut untuk saling membuka pikiran dan kritik dari masing-masing kluster, meminjam bahasa Amin Abdullah yakni integrated entities (ketiga kluster saling terpaut dan terhubung).[24]
Dengan demikian, tidak hanya “tradisi” (al-Muhafadhah ‘ala qadimi as-shalih) yang ditonjol-tonjolkan, tetapi juga aspek “translation” (al-akhdzu bi al-jadidi al-ashlah), yakni dengan cara menerjemahkan kembali dan menafsirkan ulang konsep-konsep dan khazanah intelektual lama ke konteks intelektual baru yang lebih menjanjikan untuk menjawab tantangan zaman.[25]
Menurut penulis, yang mempunyai potensi menggabungkan ketiga kluster tersebut adalah di perguruan tinggi, sebenarnya di pesantren-pesantren bisa menggapai ketiga kluster tersebut apabila bisa menerima dan mempelajari aspek-aspek humanitis-sosiologis kontemporer, mengingat di pesantren-pesantren masih sangat kuat dengan tradisi Ulum ad-Din dan sedikit sekali menimbang-nimbang lewat aspek Fikr al-Islami dan Dirasat Islamiyah yang menekankan metode kritik, lebih-lebih perbandingan pemikiran dalam Islam.
Takhtim
            Dari pemaparan di atas, menurut penulis yang sangat penting digarisbawahi dalam catatan ini, pertama adalah, ungkapan act locally and think globally merupakan pondasi awal bagi intelektual muslim hari ini, dengan sikap tersebut diharapkan bisa menyikapi perbedaan dan mengelola berbagai pertentangan dan konflik dengan cerdas dan bijak antar golongan yang berbeda dalam segi apapun.
Kedua, fase-fase studi yang telah penulis paparkan di atas merupakan sebuah proses untuk memahami persoalan-persoalan agama, terutama Islam, agar pemaknaan Islam bisa berkembang sesuai dengan tempat, budaya, tradisi dan segala macam yang bersifat lokal-temporal.
Ketiga, dari ketiga kluster antara Ulum ad-Din, Fikr al-Islami, dan Dirasat al-Islamiyah, bukan berbentuk hirarkis, di mana yang satu dengan yang lain saling mendominasi bahkan lebih utama, akan tetapi ketiga kluster tersebut berjalan dengan dialogis-negoisatif dan terbuka dengan ilmu-ilmu yang berkembang pada era kontemporer saat ini. Wallahu a’lam bi as-shawab.





Daftar Pustaka
Abdul Hamid Hakim, Mabadi’ Awwaliyah fi Ushuli al-fiqh wa Qawa’idu Fiqhiyah, Jakarta: Maktabah Sa’idah Putra, tth.
Abdullah, Amin, Agama, Ilmu dan Budaya: Paradigman Integrasi, Interkoneksi Keilmuan. Pidato yang disampaikan sebagai anggota AIPI (akademi ilmu Pengetahuan Indonesia) tertanggal 17 Agustus 2013.
_____________, Islamic Studies di Perguruan Tinggi Paradigma Integratif-Interkonektif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), cet. III
_____________, Mempertautkan ‘Ulum ad-Din, al-Fikr al-Islami, dan Dirasat al-Islamiyah: Sumbangan Keilmuan Islam untuk Peradaban Global, diunduh dari http://aminabd.wordpress.com/author/ridwanpau  tertanggal 20 Juni 2010
al-Ghazali, Abu Hamid, Ihya’ Ulum ad-Din, (Beirut: Dar al-Fikr, tth), juz. I
Ibnu ‘Atha’illah, Taju al-‘Arus al-Hawi Litahdzibi an-Nufus, (Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 2008)
Machasin, Islam Dinamis Islam Harmonis: Lokalitas, Pluralitas, Terorisme, (Yogyakarta: LKiS, 2012)
Richard J. Blackwell dalam The History of Science and religion in western tradition an encyclopedia, (ed. Garry Ferngren.)


[1]Amin Abdullah, Mempertautkan ‘Ulum ad-Din, al-Fikr al-Islami, dan Dirasat al-Islamiyah: Sumbangan Keilmuan Islam untuk Peradaban Global, diunduh dari http://aminabd.wordpress.com/author/ridwanpau  tertanggal 20 Juni 2010, h. 1
[2]Adanya fatwa MUI yang secara tegas menerbitkan buku berjudul Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syi’ah di Indonesia, juga buku yang ditulis oleh para santri Sidogiri dengan judul “Mungkinkah Sunnah dan Syi’ah dalam Ukhuwah?” sebagai respon buku Quraish Shihab berjudul Sunnah dan Syi’ah dan Sunni Bergandengan Tangan! Mungkinkah!. Kesesatan Syi’ah ini bertentangan dengan fatwa ulama al-Azhar yang menyatakan bahwa Syi’ah merupakan salah satu madzhab yang sah dalam Islam. Lihat Amin Abdullah, Agama, Ilmu dan Budaya: Paradigman Integrasi, Interkoneksi Keilmuan. Pidato yang disampaikan sebagai anggota AIPI (Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia) tertanggal 17 Agustus 2013. 
[3]Amin Abdullah, Mempertautkan…, h. 2-3
[4] Tradisi keilmuan pesantren yang berporos pada paradigma Kalam, Fiqih dan Tashawwuf dengan berbagai variasi aksentuasi pembidangan yang menjadi ciri khas masing-masing pesantren merupakan wilayah sekaligus media pelestarian dan pengamalan ajaran dalam tradisi Islam. Jika tidak ada lembaga seperti pesantren, kita belum tentu dapat membayangkan lembaga apa yang dapat menjaga dan meneruskan tradisi keilmuan Islam yang mempunyai ciri spesifik seperti itu sekaligus mampu bertahan dalam arus perubahan sosial yang macam apapun. Lebih lanjut Amin Abdullah membagi sekaligus mengkritisi keilmuan islam tentang tradisi menjadi dua trend pemikiran, yang pertama pemikiran Islam yang mengokohkan tradisi yang dianggap sebagai final tanpa kritik, sedangkan yang kedua adalah tradisi pemikiran Islam yang bersifat kritis. Baca: Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi Paradigma Integratif-Interkonektif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), cet. III, h. 289-304
[5]Amin Abdullah, Mempertautkan…, h. 3
[6]Amin Abdullah, Mempertautkan…, h. 3-4
[7]Amin Abdullah, Mempertautkan…, h. 4
[8]Puncaknya pada hukuman yang dijatuhkan Gereja kepada Galileo Galilei (1564-1642 M) yang mengembangkan teori Copernicus (1473-1543), disebabkan penyempurnaan teori Heliosentris dengan teleskop yang mengatakan bahwa Bumi mengelilingi matahari, teori ini bertentangan dengan pandangan bible yang berpandangan bahwa matahari yang mengelilingi bumi (Geosentris). Ini termasuk ke empat isu klasik yang dijelaskan oleh Richard J.Blackwell. Keempat isu klasik tersebut adalah (1) Teori Heliosentris Nicholas Copernicus (2) standarisasi penafsiran digunakan untuk memahami makna dan kebenaran Alkitab; (3) peristiwa sejarah pada tahun 1616, pihak gereja mengeluarkan fatwa Copernicanism sebagai suatu kesalahan; dan (4) Putusan sidang Galileo pada tahun 1633. Lihat: Richard J.Blackwell dalam The History of Science and religion in western tradition an encyclopedia, (ed. Garry Ferngren.), hlm. 98
[9]Amin Abdullah, Mempertautkan…, h. 5
[10] “Jika kebaratan melakukan suatu hal, maka ambillah sesuatu yang ringan/mudah saja.” Misalnya, tidak bisa berdiri dalam melaksanakan shalat diperbolehkan dengan duduk, masih tidak kuasa dengan tidur miring, dst. Lihat: Abdul Hamid Hakim, Mabadi’ Awwaliyah fi Ushuli al-fiqh wa Qawa’idu Fiqhiyah, (Jakarta: Maktabah Sa’idah Putra, tth.), h. 29
[11] “Dalam keadaan darurat, memperbolehkan sesuatu yang diharamkan.” Misalnya, diperbolehkan makan bangkai ketika dalam keadaan tidak ada makanan dan mengakibatkan kematian bila tidak segera makan. Lihat: Abdul Hamid Hakim, Mabadi’ Awwaliyah…, h. 32
[12] Amin Abdullah, Mempertautkan…, h. 8
[13]Fardhu ‘ain diartikan sebagai kewajiban bagi umat muslim untuk mempelajari ilmu tertentu, meskipun relatif mempunyai perbedaan-perbedaan dari berbagai persepsi ulama. Seperti mutakallimun mengatakan bahwa ilmu yang terlebih dahulu dipelajari adalah ilmu kalam, sedangkan bagi fuqaha adalah ilmu fiqih, sedangkan bagi sufi adalah ilmu tashawuf, bagi mufassir adalah ilmu al-Qur’an dan hadits, dst. Secara global, ilmu fardhu ain adalah ilmu syariah agama islam yang sesuai dengan kebutuhan hajjiyah dan dlaruriyah, dan ilmu fardhu kifayah adalah ilmu yang non syariah agama Islam yang terbagi juga menjadi dua yakni Mahmud misalnya kedokteran untuk mengobati orang sakit, dan madzmum seperti ilmu sihir. Penjelasan lebih lanjut Lihat: al-Ghazali, ihya’ ulum ad-din, (Beirut: Dar al-Fikr, tth), juz. I, h. 13-16
[14] al-Ghazali, ihya’ ulum…, h. 16
[15] Amin Abdullah, Mempertautkan…, h. 8
[16] Amin Abdullah, Mempertautkan…, h. 8
[17] Hal ini telah diantisipasi oleh Ibnu ‘Atha’ullah dalam bukunya tajul ‘arus al-hawi litadzhibi an-nufus yang mengatakan bahwa:
من استرسل بإطلاق التوحيد ولم يتقيد بظواهر الشريعة فقد قذف به في بحر الزندقه... وكان بين ذالك قواما
Bila disadur kira-kira menjadi “Barang siapa yang mendedikasikan dirinya pada ilmu tauhid tanpa mengikatnya dengan  aspek syari’at, maka ia akan tenggelam ke samudera kezindikan… baiknya, mempelajari keduanya secara seimbang-proposional” Lihat: Ibnu ‘Atha’ullah, Taju al-‘Arus al-Hawi Litahdzibi an-Nufus, (Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 2008), h. 34
[18] Amin Abdullah, Mempertautkan…, h. 9
[19] Amin Abdullah, Mempertautkan…, h. 9
[20] Amin Abdullah, Mempertautkan…, h. 9-10
[21] Machasin, Islam Dinamis Islam Harmonis: Lokalitas, Pluralitas, Terorisme, (Yogyakarta: LKiS, 2012), h. 130
[22] Amin Abdullah, Mempertautkan…, h. 10
[23] Amin Abdullah, Mempertautkan…, h. 16-17
[24] Amin Abdullah, Mempertautkan…, h. 22
[25] Amin Abdullah, Mempertautkan…, h. 22-23
Qowim Musthofa
Qowim Musthofa Blogger yang tinggal di Bantul. Mengajar di Institut Ilmu al-Qur'an (IIQ) An-Nur Yogyakarta. Terima kasih telah berkunjung. Korespondensi melalui surel: [email protected]

Post a Comment for "Pergumulan Tiga Jaringan Intelektual dalam Islam"