HAM dan Keadilan dalam Perspektif Hadits
Pengantar
Islam sebagai
agama, yang kuat dengan slogan rahmatan lil’alamin, merupakan suatu
bentuk nilai universal, sebagai konsekwensi dari slogan tersebut maka segala
aspek perbedaan yang ada di muka bumi ini merupakan suatu hal yang perlu
diakomodir, entah itu mengenai tempatnya, kondisi sosialnya, bahasa, etnis, dan
segala macamnya. Sehingga nilai rahmat untuk seluruh alam akan menjadi mimpi
yang tidak semata-mata utopis.
Isu Hak Asasi
Manusia (HAM) merupakan salah satu isu terbesar di era globalisasi seperti saat
ini yang dimulai pada abad 17 dan 18. Sejak masa itu usaha-usaha untuk
menghapus perbudakan mulai diusung, perlindungan terhadap kelompok minoritas, hak-hak
hidup selayaknya dan para korban peperangan. Sehingga pada puncaknya adalah
deklarasi universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Right)
oleh PBB (perserikatan bangsa-bangsa) pada tahun 1948 yang menjelaskan tentang
hak-hak asasi fundamental manusia yang disetujui oleh pemerintah untuk
dilindungi. Di antaranya bertujuan untuk menghapus perbudakan, penahanan
sewenang-wenang, kebebasan mengemukakan pendapat, dan hingga sampai pada aspek
sosial dan budaya. Dalam pembukaannya menyebutkan: “Pengakuan atas keseluruhan
martabat alami manusia dan hak-hak yang sama dan tidak dapat dipindahkan ke
orang lain dari semua anggota keluarga. Kemanusiaan adalah dasar kemerdekaan
dan keadilan di dunia.”[1]
Dengan fakta deklarasi PBB tersebut, para
intelektual muslim kemudian banyak yang mengkaji kembali landasan teologis
tentang nilai-nilai HAM dan keadilan yang mereka anggap sudah ada di dunia
Islam, sehingga banyak sekali kajian-kajian teologis HAM dan keadilan dari
perspektif al-Qur’an maupun hadits, adanya deklarasi Piagam Madinah oleh Nabi
Muhammad cukup menjadi bukti yang kuat tentang nilai-nilai HAM tersebut dengan
menjamin hak-hak hidup orang non Muslim pada saat itu. Namun dalam catatan ini
tidak akan membahas perihal Piagam Madinah, sebab pada pembahasan dan diskusi
kita selanjutnya akan membahas tema tersebut.
Oleh sebab itu
di dalam catatan ini akan membahas tentang HAM dan keadilan dilihat dari optic
hadits yang menjadi landasan teologis kaum muslim ke dua setelah al-Qur’an.
Pada pembahasan catatan ini meliputi definisi keadilan dalam hadits, dan
karakter-karakter atau ciri-ciri keadilan, sekaligus bentuk-bentuk keadilan dan
HAM dalam perspektif hadits.
Hadits Berbicara Soal Keadilan.
Di dalam
Hadits tidak ada definisi secara langsung dan jelas tentang apa itu keadilan. Keadilan
(justice) di dalam bahasa Arab terwakilkan dengan kata al-Adlu
dan al-Qisthu. Masing-masing mempunyai konteks dan penggunaan yang
berbeda. Ketika penulis mengunakan kata al-’adlu sebagai kata kunci
untuk mencari hadits pada aplikasi maktabah syamilah (kutub as-sittah
dan musnad ibnu hanbal), penulis menemukan 33 kata, dan derivasinya
lebih kurang 182 kata (‘adala, ya’dilu dan i’dilu), mayoritas
adalah hadits secara maknawi dan mempunyai kemiripan-kemiripan di dalam matan.
Kata al-‘Adlu
secara penekanan lebih pada sifat yang ada di dalam diri manusia, dan biasanya
tidak bisa dilihat secara kasat mata. Oleh sebab itu kata adil lebih sering
digunakan di dalam penilaian hukum, seperti seorang hakim yang menentukan salah
dan benar.[2]
Sifat adil dalam pembahasan catatan ini tidak lebih khhusus pada
penilaian-penilaian adil sebagai sifat-sifat yang harus dimiliki oleh para
perawi hadits.
Hadits yang
diriwayatkan oleh Tirmidzi “moderat adalah keadilan” (al-wasathu al-‘adlu)[3],
merupakan ciri-ciri dari keadilan yaitu sikap moderat. Dan hadits tersebut
tidak bisa dimaknai secara terbalik bahwa pengertian keadilan adalah sikap
moderat. Seperti halnya ungkapan “anjing adalah hewan” tidak bisa dibalik
menjadi hewan adalah anjing. Jika demikian makna keadilan akan menjadi terbatas
hanya dengan satu pengertian.
Sedangkan kata
al-Qisthu yang mempunyai arti keadilan juga, merupakan muradif
dari kata al-‘adlu, hanya saja di dalam penggunaan kalimatnya berbeda.
Apabila al-‘adlu lebih sering digunakan di dalam konteks hukum,
penilaian, dan sifat seseorang. Namun apabila al-Qisthu lebih sering
digunakan dalam konteks pembagian-pembagian secara sama rata tidak berat
sebelah. Pada umumnya dalam konteks waris, jual beli dengan timbangan.
Sebagaimana di dalam hadits “idza hakamtum fa i’dilu” (jika kalian menetapkan
hukum, maka bersikap adillah).[4]
Begitu pula di dalam hadits yang dikutip oleh Ibnu Mandhur dalam bukunya
Lisanul Arab. “Idza hakamu i’dilu wa idza qasamu aqsithu.”[5]
Hak Asasi
Manusia dan Keadilan dalam Hadits
Uraian-uraian
berikut ini merupakan sebagian dari nilai-nilai Hak Asasi Manusia dan Keadilan
dalam perspektif hadits yang penulis temukan di dalam literature-literatur
hadits.
1.
Hak Hidup
Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari menyebutkan, bahwa
dosa terbesar kedua setelah menyekutukan Allah adalah membunuh anak kandung
dikarenakan takut tidak bisa memberikannya makan. (an taqtula waladaka
khasyyata an yath’ama ma’aka).[6]
Hanya saja pada zaman nabi dahulu hak-hak anak tidak terakomodir menjadi sebuah
lembaga seperti dunia sekarang ini dengan adanya komisi nasional Hak Asasi
Manusia Anak. Belum lagi watak orang Arab sangat benci dengan anak perempuan,
sehingga anak perempuan bagi mereka adalah sebuah aib. Oleh karena itu, Islam
datang untuk melidungi anak-anak.
Pada riwayat lain, tidak secara khusus atas anak-anak, yakni dengan
redaksi yang lebih umum qatlu an-nas (membunuh manusia) adalah bagian
dari rangkaian dosa besar (al-Kabair).[7]
Untuk menindak lanjuti undang-undang pembunuhan itu, yakni dengan hukum qishash
yang secara sharih sudah termuat di dalam al-Qur’an. Di samping itu
kepemilikan senjata secara legal juga dinilai oleh Nabi bahwa orang yang
memiliki senjata, maka bukan bagian dari kita (orang Muslim).[8]
Lebih dari itu, kematian manusia pun tetap dihormati oleh Nabi
meskipun itu jenazah orang non-Muslim. Suatu hari pernah ada jenazah Yahudi
yang hendak dimakamkan, kemudian Nabi berdiri untuk menghormatinya. Ketika itu
Sahl bin Hunaif dan Qays bin Sa’d ikut berdiri dan memberi tahu kepada nabi
bahwa jenazah tersebut adalah Yahudi. Nabi menjawab “alaisat nafsan?” bukankah
ia juga manusia?.[9]
Mafhum mukhalafahnya, Nabi menghormati jenazah yahudi, apalagi kalau masih
hidup?.
Hal ini menunjukkan bahwa menghormati orang lain tidak pandang
agama atau apapun atributnya, sebagai seorang manusia harus menghormati dengan
yang lainnya.
2.
Hak Persamaan Keadilan
Hak keadilan nilai universal ketika hukum benar-benar ditegakkan,
maka tidak akan pandang bulu. Meskipun ketika yang melanggar adalah sanak
saudaranya sendiri. Maka keadilan tetap ditegakkan dengan adil sesuai dengan
aturan-aturannya. Sebagaimana Nabi Muhammad pernah bersabda: “Seandainya
Fatimah mencuri, maka aku sendiri yang akan memotong tangannya.”[10]
Ini merupakan suri tauladan yang diberikan oleh Nabi bahwa sebaiknya di dalam
melaksanakan tindakan hukum tidak ada pengecualian
3.
Hak Menuntut Ilmu
Islam sangat menghargai ilmu, dalam suatu hadits Nabi menceritakan
tentang kisah Musa, bahwa Musa pernah menyombongkan diri kepada kaum bani
Israil ketika ia ditanya “adakah orang yang lebih tahu dari pada engkau,
Musa?.” Ia menjawab “Tidak ada.” Kemudian Allah menegurnya “Ada, yaitu hamba-Ku
Khadr”[11].
Lalu Musa merantau untuk mencari Khadr guna menimba ilmu darinya, walaupun
akhirnya ia gagal dalam mempelajari ilmu sabar. Lalu kisah ini diabadikan oleh
al-Qur’an di dalam QS. al-Kahfi: 60-82.
Di dalam hadits lain Nabi bersabda bahwa “Berpikir selama satu jam
lebih berguna dari pada beribadah satu tahun.”[12]
Dalam riwayat lain lebih baik dari memerdekakan seribu budak. Bahkan, ketika
tidak ada lagi yang menuntut ilmu dan kebodohan di mana-mana, maka itu
merupakan salah satu tanda-tanda dekatnya hari kiamat.[13]
Melalui hadits-hadits di atas, pada dasarnya Islam tidak membatasi
orang untuk mencari ilmu, baik laki-laki ataupun perempuan. Mereka semua sama
dalam memperoleh hak untuk mendapatkan pendidikan secara setara. Jadi tidak ada
pembatasan-pembatasan dalam menghalangi masyarakat untuk menuntut ilmu.
4.
Hak Kepemilikan
Kepemilikan juga menjadi nilai yang sangat dihormati di dalam
Islam, sehingga untuk memasuki rumah seseorang harus meminta izin dengan mengucapkan
salam terlebih dahulu. Hal ini termaktub secara jelas di dalam QS. an-Nur:
27-29. Untuk menyikapi hal demikian, Nabi memberikan isyarat dengan hadits
“Ketika kamu meminta izin sampai tiga kali, namun tidak dijinkan maka lebih
baik kamu kembali (pulang).”[14]
Hal ini tidak mencakup hanya di dalam ruang lingkup rumah saja,
namun dalam segala hal kepemilikan. Sebab apabila tidak ada proses ijin
terlebih dahulu, maka di dalam bahasa agama dinilai sebagai perbuatan ghasab,
lebih dari itu bisa dinilai sebagai pencurian apabila sampai mengambil tanpa
seijin pemiliknya.
Kesimpulan
Hadits sebagai
landasan teologis masyarakat Muslim kedua setelah al-Qur’an secara dasariah
sangat menghargai hak-hak asasi manusia dan keadilan sebagai nilai universal di
dalam dunia global seperti demikian. Sebagaimana pembukaan di dalam deklarasi
HAM oleh PBB yang sudah penulis kutip pada bab sebelumnya bila ditarik dengan
benang merah hadits, ada semacam kalimatun sawa/common values dengan
prinsip-prinsip yang sudah diisyaratkan oleh hadits-hadits Nabi. Oleh sebab
itu, perbedaannya hanya terletak pada aspek implementasi dan secara hukum legal
formal.
Walhasil, Hak Asasi
Manusia yang sudah menjadi isu global apabila dilihat dari kaca mata hadits,
ternyata Islam sangat responsif dengan ide-ide tentang Keadilan dan Hak Asasi
Manusia.
Daftar Pustaka
al-Albani
dalam ash-Shahihah (Maktabah Syamilah).
Al-Bukhari, Shahih
al-Bukhari, (Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 2013), ed. Mahmud Muhammed
Nassar, cet. VII
Ibnu Mandhur, Lisanul
‘Arab, Kairo: Dar al-Ma’arif, 1119 H.
Muslim
an-Naisaburi, Shahih Muslim. Hadits no: 4505, hlm. 114. (Maktabah
Syamilah)
Musnad Ibn
Hanbal (Maktabah Syamilah)
Nawawi
al-Bantani, Tanqihu al-Qaulu al-Haidits Syarhu Lubabu al-Hadits, Semarang:
Toha Putra, tth
Putra, Dalizar
Hak Asasi Manusia menurut al-Qur’an, PT. al-Husna Dzikra, Jakarta: 1995
Tirmidzi, Sunan
at-Tirmidzi, (Maktabah Syamilah)
[1] Dalizar Putra, Hak Asasi Manusia menurut
al-Qur’an, (PT. al-Husna Dzikra, Jakarta: 1995), hlm. 32
[2] Ibnu Mandhur, Lisanul ‘Arab, (Kairo:
Dar al-Ma’arif, 1119 H.), vol. 11, hlm. 430.
[3] Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, 207
hadits no 2961, Musnad Ibn Hanbal hadits no: 11289
[4] al-Albani dalam ash-Shahihah no. 469
(Maktabah Syamilah).
[5] Jika menetapkan hukum berlaku adillah (I’dilu)
dan jika membagi-bagi berlaku adillah (aqsithu). Lihat: Ibnu Mandhur, Lisanul
‘Arab, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1119 H.), vol. 4, hlm. 337
[6] Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari,
(Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 2013), ed. Mahmud Muhammed Nassar, cet. VII,
hlm. 1245. Hadits no: 6861, 4471
[7] Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari…, hlm.
1246. Hadits no: 6871
[8] “Man hamala ‘alaina as-silah fa laisa minna”.
Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari….,
hlm. 1246. Hadits no: 6874, 7070
[9] Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari…, hlm.
243. Hadits no: 1312
[10] Muslim an-Naisaburi, Shahih Muslim. Hadits
no: 4505, hlm. 114. (Maktabah Syamilah)
[11] Bukhari, Shahih al-Bukhari…., hlm. 33.
Hadits no: 74 dan 78
[12] Nawawi al-Bantani, Tanqihu al-Qaulu
al-Haidits Syarhu Lubabu al-Hadits, (Semarang: Toha Putra, tth), hlm. 7
[13] Bukhari, Shahih al-Bukhari…, hlm. 33.
Hadits no: 88, 5577, 6808
[14] Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari…, hlm
1143. Hadits no: 6245
Posting Komentar untuk "HAM dan Keadilan dalam Perspektif Hadits"