Agama sebagai Doktrin dan Intelektual

Table of Contents

Ada banyak sekali sisi normativitas agama yang tidak bisa diterima oleh akal, sebenarnya persoalannya bukan di dalam iman, namun akal. Iman selamanya tetap seperti itu, artinya definisi-definisi secara doktrinal tentang agama menjadi sesuatu yang statis, misalnya ke-Esa-an Allah, nilai-nilai shalat, zakat, puasa, dsb.
Sedangkan akal bersifat dinamis, artinya logika dan penalaran kita tentang nilai-nilai agama mengalami pasang surut dan pergeseran yang sedemikian rupa untuk memberikan pengertian yang sesuai dengan pemahaman tentang suatu doktrin.

Bisa dikatakan bahwa agama mempunyai dua sisi, doktrinal dan intelektual. Agama sebagai doktrin bisa dicontohkan dengan kewajiban shalat, semua sekte-sekte islam sepakat bahwa shalat adalah kewajiban atas muslim, di dalam literatur-literatur fiqih juga semua ulama sepakat bahwa shalat adalah suatu kegiatan atau ritual yang diawali dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam.
Sedangkan agama sebagai intelektual misalnya tentang praktik shalat, diatur dengan sedemikian rupa tentang syarat dan rukunnya, khusyuk tidaknya, dan bacaan-bacaan yang ada di dalamnya. Semuanya itu mempunyai keberbedaan antara ulama satu dengan yang lain, tempat satu dengan yang lain, dan karena alasan-alasan satu dengan yang lain.
Oleh karena itu, shalat adalah doktrin agama, dan praktiknya adalah intelektual dan ijtihad keagamaan. Bila sudah bersinggungan dengan ijtihad, maka keberbedaan adalah suatu hal yang niscaya. Wajar.
Misalnya lagi tentang Allah yang tunggal sebagaimana ajaran monoteistik di dalam islam. Itu merupakan doktrin, semua muslim harus mempunyai keyakinan demikian sebab jika tidak ia bisa dikatakan musyrik, bahkan murtad. Nah, implementasi ketunggalan Allah ini ketika diinterpretasikan oleh manusia, lagi-lagi akan berbeda. Sunni yang berpendapat bahwa allah mempunyai sifat 20, mu’tazilah berpendapat bahwa allah mempunyai tangan dan wajah (tajsim), itu semua merupakan interpretasi untuk memahami doktrin agama bahwa allah tunggal.
Interpretasi-interpretasi demikian suatu saat akan berubah sesuai dengan pengalaman dan intelektual seseorang. Dan doktrin ketunggalan allah akan tetap pada awalnya, statis.
Qowim Musthofa
Qowim Musthofa Blogger yang tinggal di Bantul. Mengajar di Institut Ilmu al-Qur'an (IIQ) An-Nur Yogyakarta. Terima kasih telah berkunjung. Korespondensi melalui surel: janurmusthofa@gmail.com

Post a Comment