Cerita Perempuan

Table of Contents
Oleh: Gendhis

31 Desember 2011
Sejak semalam tadi sampai pagi ini, dia masih terpuruk di atas pembaringan. Masih tersisa isak-isak kecil dari lubang nafasnya. Aku tahu dia tidak tidur semalaman, bahkan kulihat dia tidak berubah posisi semenjak tangis sesenggukan.  Semalam, kubiarkan saja dia terisak-isak mengiba karena kata orang ketika seseorang sedang menangis, janganlah dulu kau dekati sebelum tenang hatinya, karena simpati akan membuatnya lebih merasa malang dan makin kencanglah tangisnya. Pagi ini kucoba membuka obrolan, kusapa dia tapi hanya jawaban pendek yang kudapat. Kucoba berkelakar tapi dia hanya menarik sedikit sekali ujung bibirnya, bahkan bisa dikatakan bukan senyum yang terlihat tapi wajah sinis. Aku tahu perutnya belum terisi makanan sedikitpun sejak sore kemarin, jadi sengaja aku siapkan makanan untuknya. Kusodorkan sepiring nasi beserta lauk ala kadarnya dan segelas air. Aku tahu butuh memaksa agar dia mau membuka mulutnya agar makanan bisa masuk leluasa ke dalam perutnya.

Dengan susah payah  kupaksa dan kubujuk akhirnya dia mau membuka mulutnya. Aku tidak menyuapinya, tentu saja dia bisa makan sendiri. Mungkin dia terpaksa makan karena melihat upayaku yang sabar meladeninya. Terdengar suara dentingan ketika sendok dan piringnya beradu. Aku diam saja melihatnya makan.
“kenapa kau tak makan? Dan hanya melihatku saja?”
Aku hanya tersenyum memandangnya. Kukira dia hanya akan mencicipi sedikit saja nasi yang kusodorkan. Ternyata hampir dia habiskan nasi sepiring itu. Mungkin menangis semalaman membuat perutnya keroncongan. Tetes terakhir sudah masuk kerongkongannya yang tadinya segelas air putih waktu kusodorkan. Aku masih tetap memandanginya sampai dia jenuh kupandangi dan menoleh ke arahku. Sebelum dia sempat berkata-kata aku terburu mengambil piring dan gelas kosong. Kutinggalkan dia sendiri, dan aku menuju ke tempat cucian piring. Bukan sok rajin, tapi sudah kebiasaan sehabis makan langsung kubersihkan sekalian, Agar tidak menumpuk-numpuk kerjaan. Sementara dia sendiri di kamar, aku sibuk berpikir dan melamun. Teringat satu tahun yang lalu, Anganku kembali berputar membuka kenangan saat pertama kali aku mengenalnya pada awal tahun.
...
Pagi itu bukan mentari yang menjadi penanda awal hari yang muncul, akan tetapi justru awan gelap yang seketika mengguyurkan hujan deras disertai angin kencang. Tak ada keinginan sedikitpun dalam hatiku untuk ke luar rumah. Aku masih teringkuk di atas tempat tidur lengkap beserta jaket tebal dan sebatang rokok mengepulkan asap dari mulutku. Jika orang melihat dengan jeli warna bibirku, maka akan kentara sekali jika aku perokok berat, tampak dari bibirku yang berwarna hitam tak sehat.
“hujan-hujan begini, akan menjadi hangat bila ada sebatang rokok menemani” batinku berkata
Suara hujan begitu berisik, membuat hatiku penasaran ingin melihat seberapa deras hujan pagi itu. Kebetulan kamarku berada di bagian muka rumah, dan ada dua buah jendela yang menghadap ke jalanan. Jadi jika seandainya jendela kamarku dibuka akan terlihat dengan jelas halaman rumah yang tidak begitu luas, pohon mangga satu-satunya, jalanan yang tampak sepi, dan sungai kecil-atau lebih tepat dikatakan selokan saluran air- di seberang jalan. Jika hujan deras begini, airnya akan meluap sampai jalan karena sampah-sampah yang dibuang sembarangan dan menyumbat saluran air sungai itu.
Ketika akhirnya kubuka jendela kamarku, ada sesuatu yang membuat mataku tertarik untuk mengamatinya, membatalkan niat pertamaku yang hanya ingin mengetahui seberapa deras hujan turun. Di seberang jalan sana, tampak seseorang yang basah kuyup menghadap ke arah sungai, sepertinya dia sengaja tak mempedulikan hujan angin disertai kilat yang menakutkan. Beberapa menit berlalu, tapi tak satupun gerakan tubuhnya yang menandakan dia akan segera meninggalkan tempatnya berdiri. Aku jadi sedikit simpati, jangan-jangan dia seseorang yang kebetulan tak kedapatan tempat berteduh. Akhirnya kuputuskan untuk keluar membawa payung dan mendekatinya untuk menawarkan tempat berteduh hingga hujan reda. Setelah kira-kira agak dekat, kusadari ternyata dia seorang perempuan, terlihat dari postur tubuhnya dan rambut panjang sebahunya yang tergerai dan lepek terkena air hujan.
Kuutarakan niat baikku menawarkan tempat berteduh, dia hanya menoleh melihatku dengan tatapn kosong, setelah beberapa detik tidak ada satu katapun yang keluar dari mulutnya. Kusimpulkan saja bahwa gerakan menolehnya itu adalah jawaban “iya”. Terbukti ketika aku membimbingnya menuju ke dalam rumah dia hanya menurut saja. entah keberanian dari mana yang kudapat, hingga aku berani membawa masuk seorang perempuan ke dalam rumah. Padahal aku seorang lelaki dewasa, perantauan mencari sedikit rizki di kota kecil dan asing ini. Untung saja lingkungan kontrakanku tidak begitu ramai penduduk lalu lalang, karena sedikit banyak penduduk di sekitar tidak suka ambil pusing urusan tetangga.
Sempat terbesit pikiran yang macam-macam dalam benakku, bagaimana jika perempuan ini perempuan tidak benar? atau jangan-jangan dia melarikan diri dari rumah, dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan dalam otakku. Tapi kutepis dengan segera, yang penting aku berniat baik untuk menolong sesama.
Dia masih membisu di ruang tamu. Kuberi selembar handuk untuk mengeringkan tubuhnya dan segelas teh hangat untuk mengurangi hawa dingin dalam tubuhnya. Setelah dia meneguk teh buatanku, akhirnya dia mengeluarkan kata-kata dari mulutnya, berawal dari ucapan terimakasih dan cerita itu mengalir begitu saja, cerita yang sama beberapa bulan kemudian. Hampir setiap dua bulan sekali, selalu dia datang ke kontrakanku, dengan keadaan yang sama dan cerita yang sama hanya saja berganti nama, dari adit, bagas, yus, indra dan yang lainnya.

***
Aku tidak mendengar suara apapun dari kamar sempitku yang hanya berukuran untuk satu orang itu. Kebisuan masih menyelimuti penjuru kontrakan yang hanya kuhuni sendiri, hanya sesekali terdengar desauan angin yang menggoyang dedaunan pohon mangga di depan rumah. Kembali teringat, sejak dia pertama kali datang dan muncul di depan kontrakanku, kemudian berkali-kali terulang dia rutin datang ke sini ke kontrakan kecilku. Sambil berlari dan tersengal-sengal berebut antara nafas dan suara isaknya, sama seperti saat ini. Kubiarkan dia masuk kontrakan dan menangis di atas bantalku. Entah sejak kapan dia jadi terbiasa menganggap kontrakanku seperti rumahnya sendiri, tanpa permintaan izin dia masuk kamarku. Padahal jika aku adalah lelaki brengsek sudah tentu tak selamat kegadisannyasejak setahun yang lalu. Tapi untungnya aku masih bisa mengendalikan nafsu bejatku.
Seperti saat ini juga, setahun yang lalu pun dia menangis semalaman, dan paginya baru dia beranjak setelah kupaksa mengisi perut kosongnya. Saat itu tepat akhir tahun, seperti sekarang.
Saat dia mulai bercerita setelah selesai makan. Berkeluh kesah tentang nasibnya yang tak pernah mendapatkan dewi fortuna. Saat itu dia bercerita tentang kekasihnya yang tiba-tiba meninggalkannya karena perempuan lain. Semua diceritakannya tanpa sisa, bahkan dia menceritakan adegan-adegan yang pernah dia lakukan selama dia masih bersama dengan kekasihnya. Aku hanya terdiam mendengarnya, menyimak dengan baik tanpa suara membuatnya lebih leluasa untuk bercerita.
“namanya Adit, padahal kukira dia adalah masa depanku”
Aku menjadi pendengar yang baik, tanpa banyak komentar hanya dengan khusyuk menyimak ceritanya. Akhirnya ketika dirasa sudah ditumpahkan seluruh uneg-unegnya padaku wajahnya sedikit lebih cerah dibandingkan ketika dia baru datang secara tiba-tiba di kontrakanku. Dan sebelum dia akhirnya pergi, dia menutup ceritanya dengan kalimat yang sangat kontras dengan cerita-cerita yang sudah diceritakannya padaku. Seolah cerita itu hanya imajinasinya dan angin lalu saja.
“ah! Laki-laki tidak hanya satu di dunia ini. Aku pasti akan mendapatkan yang lebih baik lagi. Kalau kau bertemu laki-laki baik jangan lupa kau kenalkan padaku ya?!ha ha ha”
Tawanya yang tidak begitu nyaring tapi terasa renyah di telinga membabat habis wajah sendunya semalam.
***
“jaka!”
Panggilannya membuyarkan lamunanku. Aku segera keluar dari dapur dan kulihat dia sudah pindah dari kamarku dan duduk di ruang tamu. Aku duduk tepat di depannya, siap mendengar cerita tentang kekasih barunya yang mungkin baru saja diputuskan.
“jaka terimakasih ya...”
“ah, tak perlu sungkan seperti biasa saja. kau sudah seperti adikku sendiri”
“...”
“jaka, aku tidak tahu ini sudah yang ke berapa aku cerita kepadamu....”
Dan cerita itu kembali mengalir mengisi awal tahun, dan kuketahui sudah setahun ini aku mengenalnya dan menjadi dekat, dekat hanya dalam sebatas ketika dia datang dan bercerita berkeluh kesah tentang kehidupan cintanya. Selebihnya tidak begitu kuketahui kehidupannya, aku pun tidak prnah bertanya rumahnya dan identitas lengkapnya.
“aku... sangat mencintainya, sungguh biarpun dia telah bersama orang lain. aku tahu aku kali ini telah salah melabuhkan cinta. Tapi hatiku tidak bisa berpaling darinya”
Oh... cerita kali ini berbeda, bukan patah hati karena putus oleh orang ketiga. Tapi justru dia yang hendak menjdai orang ketiga. Aku masih khusyuk mendengar ceritanya. Dan akhirnya ketika hendak pamit pulang. masih kuingat kata-kata terakhirnya..
“seperti biasa, aku akan mencari lagi yang lebih baik, dan tepat jadi sandaran hatiku, walau  tidak menutup kemungkinan aku akan terus dihantui bayangannya... jauh sebelum cerita-cerita ini kumulai denganmu  atau aku akan tetap seperti ini. Terimakasih atas semua”
***
Dua bulan telah berlalu sejak tahun berganti. Biasanya dia akan datang secara tiba-tiba ke kontrakanku. Menumpahruahkan kidung hatinya. Aku senang-senang saja menjadi pendengar setia. Dan dia adalah seorang pencerita yang baik.
Tiba-tiba aku merasa kali ini aku merindukan dirinya, cerita-ceritanya. Hari menjadi sepi-yang memang karena aku tinggal sendiri di kontrakan ini, tapi semenjak ada dia sedikit ada teman mengisi sunyi.
“sekar…”
***
Enam bulan berlalu, dia, sekar tak pernah kembali lagi. Kehidupanku tetap berlangsung seperti sebelum kedatangannya. Cerita-cerita dan sekar pun seiring berlalu terbawa angin. Hanya sementara menjadi kisah pelengkap jalan hidupku, sedikit selingan dalam derasnya jalan hidup yang berjalan…
Qowim Musthofa
Qowim Musthofa Blogger yang tinggal di Bantul. Mengajar di Institut Ilmu al-Qur'an (IIQ) An-Nur Yogyakarta. Terima kasih telah berkunjung. Korespondensi melalui surel: janurmusthofa@gmail.com

Post a Comment