Widget HTML #1

Jangan Cium Mataku

    bolehlah sembarang saja kau ciumi aku
    di mana sesuka-suka
    tapi jangan mataku

        Udara malam berhembus menuju celah-celah jendela kamar dan dinding kamarku penuh dengan selaksa gambarmu, semua yang ada di ruangan ini merasakan dingin yang amat sangat menggigil, begitu pula aku. Aku selalu merasakan kedinginan bila mengingatmu, kau bagai udara malam yang bisa menyerang siapa saja tak peduli aku. Kemeletuk rintik hujan menghunjam genting atap kamarku, seolah ia juga ingin menyerangku malam ini, seperti ketika aku  mengingatmu.         Sungguh malam ini ingin aku datangkan dirimu, untuk menemani kedinginanku, seperti hari-hari yang telah berlalu, kau sering ke kamarku tanpa mengetuk pintu, dan kau temukan aku dalam keadaan telanjang tanpa sehelai benang. Karena kau tahu kalau aku tak pernah memakai baju ketika aku di kamar. Lalu tanpa aba-aba, kau menabrak tubuhku, menyelimutiku dengan tubuhmu yang saat itu masih terbalut lelah dan gelisah akibat pertengkaran keluargamu. Saat-saat seperti itu kau sering mengatakan bahwa kau selalu merindukanku. Merindukan dekapan dinginku yang selalu kau hangatkan dengan suhu panas tubuhmu. Lalu tubuh kita menjadi sama-sama hangat.
        Entah kenapa, saat kau sering mengunjungiku, aku jadi tak pernah menerima tamu selain kau. Aku merasa cukup dengan kehadiranmu, aku jadi merasa tidak sendiri meski kau tak tiap hari ke sini.
“Kenapa kau menyintaiku? Aku ini....” begitu aku bertanya padamu dengan ungkapan yang tak kuselesaikan setelah kita lelah kepanasan mengadu rindu pada malam yang sering menggerutu.
“Karena kamulah wanita, dan aku pria.” Jawabmu dengan dengus napas yang menderu kudengar dari dadamu.
“Sesederhana itu?” aku mendongakkan mukaku ke arahmu.
“Bukankah semua yang ada di dunia ini sederhana?” pertanyaan retorikmu membuatku jadi kelu.
“Sejauh mana cinta membuat bahagia?”
“Terimalah semua kisah yang selama ini kau jalani, jangan sesali sedikitpun.” Aku makin nyaman mendengar degup jantungmu.
 “Apa yang kamu harapkan dariku?”
“Tidak ada. Aku menyintaimu, dan engkau menyintaiku. Sudahlah itu saja, cukup menenangkan seluruh anggota tubuhku.” Kalimatmu bagai api yang membakar seluruh tubuhku dan hangus menjadi abu lalu beterbangan di bawa angin, dan aku hilang sehilang-hilangnya tanpa bekas.
          Kenapa kau tak pernah ingin tahu bagaimana perasaanku kepadamu, kenapa kau tak ingin mempersuntingku atau menjadi istri kedua, atau simpananmu, kenapa kenapa kenapa. Pertanyaan-pertanyaan itu terasa amat berat ku ucap ketika sampai di ujung bibir, dan aku jadi lebih sadar, bahwa aku memang tak pantas untuk menjadi istrimu atau bahkan istri siapapun, karena tiada mungkin orang kan mau mempersunting seorang pelacur.
         Setelah itu kau ciumi wajahku dengan berahi yang buatku bangkit lagi, kau gigit kupingku dengan lembut. Lalu aku berbisik ke telingamu “jangan pernah kau cium mataku”. Entah itu kalimat yang ke berapa kali sudah ku bisikkan ke telingamu, dan kau pun selalu sama bertanya kenapa dan kenapa. Begitu pula jawabanku yang selalu sama “pokoknya jangan”, tak pernah tahu kenapa aku tidak mau, kau menciumi mataku.
         Dan malam itu tiba-tiba menjadi malam yang sangat menakutkan bagiku, disertai guntur dan kilat yang menyambar ke langit sampai cahayanya sesekali menerangi kamarku, aku makin erat dalam pelukanmu dan kau selalu asik dengan aktifitasmu menciumi leherku. Aku jadi lepas kendali dan entah kau lupa atau sengaja, mataku yang masih tertutup menghayati napasmu, kau ciumi beberapa kali kedua mataku.
         Setelah itu ketakutanku menjadi-jadi. Kubuka mataku lebar-lebar dan menatapmu dengan tatapan yang dengki dan marah sambil menjerit dalam hati “kenapa kau cium kedua mataku?”
         Tiba-tiba kau mengangkat tubuhmu, bergegas memakai pakaian dan berlalu dengan mengecup keningku. Aku takut bukan kepalang, aku takut itulah ciuman terakhirmu yang bertengger di keningku. Nasehat-nasehatku untuk menunda pergi hingga esok tiba pun kau abaikan begitu saja. Sedang malam masih mengirimkan pasukan hujan dengan derasnya.
“Kapan kau ke sini lagi?” tanyaku lirih, dan hanya kau jawab dengan senyuman.
         Aku hanya takut dengan kejadian sebelumnya yang pernah ku alami, setiap lelaki yang pernah mencium mataku, ia tidak pernah lagi berkunjung ke kamarku. Aku sangat takut bila kau sama seperti lelaki lain.
         Dan malam ini pun aku mengalami seperti apa yang kutakutkan. Sudah lebih dari 3 bulan kau tak pernah masuk ke kamarku tanpa mengetuk pintu, apalagi menabrak tubuhku seperti banteng ketika melihat warna merah, dan aku tak pernah mencoba untuk menghindarimu.
Entah mengapa, sejak itu aku tak mau lagi menerima tamu. Dan aku jadi makin ragu dengan jalan ini. Aku hanya mengingat kalimatmu yang selalu membakar tubuhku bila teringat “Terimalah semua kisah yang selama ini kau jalani, jangan sesali sedikitpun” dan aku tidak pernah menyesali siapapun yang pernah mengisi kisah hidupku. Aku hanya tak mau ada orang yang mencium mataku. Aku hanya tak mau ditinggal sendiri, aku tak mau diasingkan atau menjadi orang asing.

21 Maret 2012
Qowim Musthofa
Qowim Musthofa Blogger yang tinggal di Bantul. Mengajar di Institut Ilmu al-Qur'an (IIQ) An-Nur Yogyakarta. Terima kasih telah berkunjung. Korespondensi melalui surel: [email protected]

Post a Comment for "Jangan Cium Mataku"