Menjemput Cahaya Ramadhan
Table of Contents
Saya ingat sekali doa Nabi kita Muhammad SAW. Begini “Allahumma bariklana fi rajaba wa sya’bana, wa balighna ramadhana.” Dalam bayangan saya, Nabi saja mempersiapkan Ramadhan dua bulan sebelumnya, yaitu pada bulan rajab dan sya’ban. Sedangkan saya sendiri, tidak tahu apa yang harus dilakukan ketika rajab dan sya’ban. Bagaimana bisa merasa senang ketika ramadhan bila tak peduli apa yang terjadi pada rajab dan sya’ban. Ritual puasa di bulan Rajab saya tak pernah, ritual mujahadah membaca surat Yasin pada Nisfu Sya’ban saya malah asik bergurau dan bermain dengan teman-teman. mungkin saya termasuk orang yang tidak bahagia dalam menyambut ramadhan, jadi jasad
saya dihalalkan masuk neraka oleh Allah. Begitu kyai? “Kok bisa begitu?” sang kyai malah meledeknya.
Lho, ada hadist begini “barang siapa yang bersuka cita menyambut bulan ramadhan, maka jasadnya diharamkan oleh Allah masuk neraka”.
“Jadi, sebab sampean tidak bahagia lalu jasadnya dimasukkan ke neraka? Begitu?” Hmmmm “Sampeyan itu pandai dalam agama, tahu hadist ini dan itu, kenapa masih saja tidak mengikutinya?” sang kyai kembali bertanya.
“Nah itu yang selama ini saya sendiri juga heran Kyai? Apa ada yang salah dengan metode belajar saya? Bukannya saya itu tidak bahagia, namun saya lebih merasa bahwa ramadhan itu adalah bulan yang seperti bulan biasanya, tidak ada bedanya. Kalau pada bulan ramadhan ada tarawih, saya juga sering tarawih di lain bulan ramadhan, karena shalat saya sering tumpuk-tumpuk, Kyai. Subuh dhuhur ashar sering saya lakukan pada satu waktu. “karena musafir?” tanya kyai. “Bukan kyai, karena tidur kelamaan”. Bukan hanya itu, saya juga sering tidak makan di siang hari, sebab saya tidur melulu bila pagi sampai siang. Berarti kan sama saja pada bulan ramadhan, sama-sama tidak makan siang hari dan tarawih di malam hari”
Obrolan mereka di serambi masjid pada waktu setelah shalat ashar. Seorang pemuda yang bernama Bangkit Santosa. Memang agak sableng.
“Sebaiknya sampean itu bertanya pada diri sendiri, sebelum bertanya kepada orang lain? Karena saya amati dari tadi, sampeyan belajar hanya untuk kepuasan pikiran sampeyan semata, bukan untuk kepuasan jiwa, budi pekerti dan sesama. Betul tidak?” sang kyai malah menambah bingung Bangkit.
Bangkit terdiam sejenak, lalu “Ada benarnya kyai. Tapi kalau saya tahu sendiri, kenapa harus repot-repot tanya dengan jenengan kyai. Waaaah!” Sahut Bangkit dengan sedikit tersenyum.
“Nah, itulah satu kesalahan sampeyan. Jangan tanya pada logika pikiran sampeyan semata, namun tanyalah pada jiwa sampeyan sebagai manusia.”
“Lalu, apa kyai yang harus saya lakukan untuk menyambut Ramadhan kali ini?”
“Lho, sudah saya katakan jangan bertanya sama saya, bertanyalah dengan diri sampeyan sendiri. Sampeyan butuh apa dan ingin apa?” sang kyai tersenyum.
“Bukan begitu kyai. Ini cuma saran, cuma saran.”
“Hmm, sampeyan itu mulai belajar kebutuhan jiwa, bukan pikiran semata. Misalnya, 1+1 berapa?” sang kyai bertanya.
“dua” jawab Bangkit.
“Itu bila dijawab dengan logika” kata sang kyai. “satu pohon ada puluhan tangkai, ratusan daun. Sesungguhnya di dalam yang satu itu ada lebih dari satu. Allah itu satu, tapi Allah bisa atas segala sesuatu. Hal itu hanya bisa diperoleh apabila kita mencerna segala sesuatu dengan sepenuh jiwa, tidak hanya sepenuh pikiran. Banyak di dunia ini yang tidak bersumber dari ilmu eksakta. Kata orang bijak, pikiran itu ada di antara hati dan nafsu. Banyak orang yang terjerumus berpikir karena nafsu. Sampeyan pasti hafal Fa al hamaha Fujuraha Wa taqwaha. Iya, tho?”
“Hafal sekali kyai, lalu kyai? Maknanya apa itu kyai?” Bangkit semakin ingin tahu.
“Wah, berarti ilmu sampeyan masih sekotoran kuku, segitu kok meremehkan bulan Ramadhan, makanya perbanyak membaca al qur’an mumpung bulan Ramadhan, setelah itu perbanyak lagi, dan terus perbanyak lagi” Hehehe, sang kyai terkekeh menyombongi kesombongan Bangkit.
“Sendiko dawuh kyai” Bangkit merendah, dan memang rendah.
“Berjanjilah untuk melakukan apa yang sampeyan bisa, dan harus ada yang sampeyan kerjakan, apapun itu. Bila sampeyan tahu bahwa manusia akan mati, maka dalam perjalan menuju mati itulah yang harus di renungkan, bukan matinya. Ramadhan itu bulan penuh rahmat yang semua orang tahu, juga sampeyan aku yakin sudah tahu, namun saya kira sampeyan kurang yakin dalam hal itu. Rutinitas seperti puasa dan tarawih misalnya, itu adalah proses keihklasan kita menuju keta’atan kepada Allah, bukan rutinitas yang sifatnya hanya meredam nafsu makan minum, dan kelamin. Kalau sampeyan sudah tahu itu, pasti bisa membedakan ramadhan dengan bulan yang lain. Jemputlah cahaya Ramadhan kali ini dengan sepenuh jiwa dalam ketakwaan”
Bangkit hanya menganggukkan kepalanya sambil terbata mengeja makna dirinya di dunia. Sang kyai turun dari masjid, lalu pulang meninggalkan Bangkit yang masih terbata mengeja kembali catatan perjalanan hidupnya.
Dimuat di Buletin Sastra Senja Pondok Pesantren An Nur Ngrukem. Edisi Agustus 2011
Dimuat di Buletin Sastra Senja Pondok Pesantren An Nur Ngrukem. Edisi Agustus 2011
Post a Comment