Penulis Tuli dan Pianis Buta
Table of Contents
Cinta tanpa mata, karena cinta memang tak membutuhkan mata untuk melihat. Kemudian tuli, apa cinta itu juga tuli tak membutuhkan suara?, lalu dengan apa orang bisa mengerti cinta tanpa melihat dan mendengar? Rasa, iya, hanya rasa yang dibutuhkan oleh cinta, dan rasa hanya bisa dialami oleh hati. Indera manusia hanya sebagai penyalur sebuah hasrat hati dan rasa. Bukan begitu?
***
Aku lah penulis tuli, yang hanya bisa menceritakan tulisanku sambil melihat jemarimu menari kala kau duduk di depan piano. Kau jatuhkan jemari di atas tuts berwarna putih kemudian ke warna hitam yang sejajar lalu kembali ke putih lagi, begitu seterusnya. Meskipun aku tak bisa mendengar alunan merdu dari suara tarian jemarimu, namun aku tahu akan keindahan dari raut wajahmu.
Mungkin kau sudah menghafal nada-nada soneta, bahkan lebih dari itu, oleh karenanya kau tak lagi membutuhkan mata untuk melihat tuts mana yang kau tekan. Dengan tenang kau sentuh tuts itu perlahan tapi pasti. Ahh, aku jadi teringat gerakan taichi yang dapat mengumpulkan kekuatan dahsyat hanya dengan gerakan-gerakan pelan dan lembut. Seolah kau sudah tak memikirkan nada mana yang harus kau tekan setelah nada sebelumnya, semua mengalir bagai air sungai yang bermuara pada laut. Tidak lain karena kau mempunyai perasaan yang menyusup halus dari hati ke pikiran kemudian bertumpu pada jemarimu. Jadilah kombinasi nada yang tak ternilai oleh apapun.
***
Hal yang sangat aku takutkan adalah ketika kau ingin membaca wajahku seperti kau membaca pada huruf breile. Kau pasti akan meninggalkanku karena rambutku yang kaku seperti sapu, wajahku yang tidak rata seperti jalan raya yang belum teraspal, hidungku yang rata sebelah bak plastik yang meleleh, mulutku sumbing yang mengakibatkan aku tak jelas berucap huruf “b”. aku tak ingin kau membenciku karena kau telah membaca wajahku.
“Dengan apa aku bisa mengenalmu? Mendengar alunan melodiku?” begitu kulihat ia menggerakkan bibirnya
“Dengan cinta dan suaraku yang diiringi alunanmu, kangen yang berujung pada cerita dan melodimu”
“Karena apa semua ini kau jalani?” ia mendesakku
“Karena cinta, rindu dan kasih sayang” aku terdesak sambil mengatur jeda napasku
“Benar cinta? Sama siapa? Rindu dan kasih sayang untuk siapa?”
“Iya, sama....”
Jadi, Biarkan kita sama-sama merasakan yang sama, meskipun kita berbeda, karena setiap orang mempunyai cara sendiri untuk menyinta cinta. Meskipun tak setiap orang mampu menyinta cinta. Bukankah cinta itu, lebih baik bungkam dari pada kata?
Post a Comment